Persoalan ustadz-ustadz di televisi yang berlagak seperti selebritis
memancing komentar dari berbagai pihak. Setelah sebelumnya Ketua Majelis
Ulama Indonesia (MUI) KH Ma’ruf Amin mengkritisi sejumlah ustadz di
televisi, kini giliran Ustadz Ahmad Sarwat yang memberikan kritik
serupa.
Dalam status Facebook-nya per tanggal 22/11/2011, Ustadz
Ahmad Sarwat kembali mengeluarkan statemen yang mengkritisi kondisi
masyarakat yang tidak bisa membedakan berbagai istilah keagamaan.
“Dalam
dunia kesehatan ada pembedaan terminologi yang jelas. Mulai dari tukang
obat, paranormal, dukun, bidan, perawat, mantri, dokter, dokter
spesialis, dan seterusnya. Tapi dalam dunia agama, masyarakat nyaris
tidak bisa membedakan dan juga tidak tahu perbedaan antara penceramah,
da’i, mubaligh, ustadz, kiayi, ulama, mufti, mujtahid, dan seterusnya.
Pokoknya begitu ada orang pandai ceramah, langsung dipanggil ‘ustadz,’”
paparnya.
Kemudian beliau menerangkan perbedaan istilah-istilah di dalam dunia kedokteran.
“Jelas
sekali perbedaan tukang obat dengan dokter spesialis. Modalnya tukang
obat ya cuap-cuap sambil dikit-dikit ngibul, ngakunya punya obat yang
bisa menyembuhkan segala macam penyakit. Tapi dokter spesialis, modalnya
adalah belajar tekun bertahun-tahun, dan hanya mereka yang gila belajar
saja yang lulus diterima jadi mahasiswa di FK (Fakultas Kedokteran).”
Setelah itu, beliau memaparkan persoalan dalam istilah-istilah keislaman.
“Nah,
bedanya orang yang biasa dipanggil dengan sebutan ustadz dengan tukang
ceramah apa? Harus ada bedanya dong. Tukang ceramah itu bermodal pandai
ngomong, bergaya, bikin yel-yel, terus pura-pura doa yang bisa bikin
hadirin menangis, dan seterusnya, dan seterusnya. Harusnya ustadz bukan
tipe yang seperti itu. Ustadz itu minimal tiap hari baca 100-200 halaman
kitab syariah, spt tafsir, hadits, fiqih, dan lain-lain.”
Beliau menyebutkan beberapa istilah untuk diketahui masyarakat umum. Ustadz itu hanya boleh dipersembahkan kepada para ahli ilmu agama dengan kapasistas ilmu yang mumpuni serta standar moral yang tinggi. Bukan seleb dipoles oleh tv dan tiba-tiba simsalabim jadi ustadz. Dalam pandangan saya, itu cara ilegal dalam merusak umat, sebuah inovasi terbaru dari gaya lama belanda ketika mengorbitkan Dr. Snouck Hurgronje untuk mengobok-obok umat Islam dari dalam.Kiyai, lebih merupakan panggilan penuh hormat kepada orang yang lebih dituakan. Dalam beberapa komunitas sosok kiyai memang tidak selalu harus ahli agama. Sebab di jojga ada sapi dipanggil dengan sebutan kiyai. Tapi kalau di dalam kultur pesantren, kiyai biasanya panggilan buat sosok yang sangat dihormati, seperti kiyai pondok, meski tidak berarti dia ahli dalam ilmu agama.Ulama, ahli ijitihad yang memenuhi semua syarat dalam melakukan proses ijtihad. Contohnya Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, Ahmad bin Hanbal dan para muridnya. Sedangkan ulama di masa sekarang, sebenarnya boleh dibilang hampir sudah tidak ada lagi. Kalau pun ada yang kita sebut ulama, lebih merupakan panggilan penghargaan saja.Mufti, ahli ilmu agama yang ilmunya sangat luas, dimana tugasnya adalah menjawab pertanyaan masyarakat tentang halal haram dan sebagainya. Mufiti harusnya seorang dengan kapasitas ilmu seperti para ulama, agar dia tidak sesat dan menyesatkan.
Dalam mencontohkan ustadz di televisi yang lebih suka menarik massa,
beliau menganalogikannya dengan tukan jual obat di pinggir jalan.
“Yang
saya maksud dengan tukang obat ya itu, yang suka gelar dagangan di
pinggir jalan, bikin kerumunan massa di terminal, mirip film Benyamin
Tukang Ngibul,” kata beliau sembari bercanda.
“Masyarakat awam
lebih tertarik berkerumun di sekitar tukang obat yang pandai ngibul itu.
Karena bicaranya sangat meyakinkan, kayak ilmunya jauh di atas para
dokter. Gila nggak, mereka bilang kanker separah apapun, asal pakai
obatnya dia, PASTI LANGSUNG SEMBUH! Padahal di RS (Rumah Sakit), para
dokter ahli yang botak-botak itu masih kebingungan gimana melawan
penyakit itu. Masyarakat awam lebih memilih tukang obat, mereka lebih
suka PONARI dengan batu ajaibnya. Innalillahi wa inna ilaihi rajiun..,”
“Di
dunia dakwah, keadaannya mirip banget. Masyarakat berkerumun di seputar
para tukang ceramah TV alias seleb ngaku ustadz itu. Mungkin karena
memang pandai bicara sehingga pengusaha TV itu memanfaatkannya untuk
menaikkan rating. Dan produser infotainment punya bahan issue
baru yang sensasional, yaitu para ustadz seleb yang mencoreng wajah
dakwah. Gila banget tuh TV, para artis yang ngaku ustadz itu sering
dikasih tag-line ULAMA!”
Tidak hanya mengkritisi para
ustadz seleb tersebut, Ustadz Ahmad Sarwat juga mengkritisi para pemilik
stasiun TV yang hanya mementingkan rating siaran, bahkan
mempertuhankannya.
“Seolah-olah atas nama RATING TV orang jadi
merasa berhak bicara apa saja meski pun isinya kebatilan. Huh
benar-benar KAPITALIS MURNI. Dan ustadz dadakan alias seleb ngaku ustadz
itu pun salah satu dampak negatif dari keberhalaan rating tv dan negara
yang semakin jelas ideologi kapitalisnya.”
Setelah itu, beliau menuturkan salah satu solusi bagaimana dakwah di televisi tetap berada dalam koridor syariat Islam.
“Teman
baik saya ada yang usul bahwa tiap orang yang mau tampil ceramah di TV
harus punya SIC (Surat Izin Ceramah), tapi yang mengeluarkan bukan
Koramil atau Polisi. Yang mengeluarkan surat itu, misalnya Majelis Ulama
Indonesia (MUI). Jadi, para seleb itu musti dites berbagai hal, mulai
dari kapasitas ilmu, sampai moral dan akhlaqnya juga. Baru boleh muncul
di layar kaca. Dan ada komisi pemantau kelayakan penceramah TV, yang
kerjanya menilai dan memantau mereka, dianggotai oleh para ulama betulan
yang punya kapabilitas.”
Untuk benar-benar menjadikan ulama
sebagai rujukan dalam hal keagamaan, bukan oleh para ustadz seleb,
Ustadz Sarwat mengusulkan agar para ulama benar-benar diwadahi dalam
lembaga yang independen.”
“Saya bilang gini aja, para ulama
betulan itu membentuk seperti apa yang dulu pernah dilakukan di negeri
kita, waktu banyak muncul pendakwah gadungan produk impor yang tidak
jelas, kerjanya bikin keonaran disana-sini. Wadah itu tempat
berkumpulnya para ulama betulan yang ilmunya memang paten. Wadah itu
bukan milik pemerintah, tidak berlaku topdown yang melarang ini
dan itu, tapi wadah itu murni milik umat dan bisa dijadikan indikator
serta rujukan umat dalam masalah agama. Bahkan wadah itu bisa sampai
mengirim delegasi ke Arab untuk menekan penguasa disana agar tidak
mensupport para pendakwah yang bikin onar dimana-mana.”
Beliau,
secara pribadi mendukung agar para ustadz tetap muncul di TV, media
massa, ataupun media sosial. Namun, yang harus diperhatikan adalah bahwa
dia itu adalah ustadz sesungguhnya, bukan abal-abal yang ngaku ustadz.
Sebagai contoh, beliau menyebutkan seringnya orang-orang yang ngaku ustadz itu berbicara tanpa dasar.
“Yang
disampaikan oleh artis ngaku ustadz itu jauh dari hadits nabi.
Sepanjang yang saya perhatikan, tak satu pun yang membawakan satu pun
hadits dengan menyebutkan sanad dan matannya, apalagi al-hukmu ‘alal-hadits. kebanyakan asal cablak
aja. Makanya, Kiyai Ali Mustafa Yaqub marah besar begitu tampil di TV
dengar ada seleb ngaku ustadz ngutip-ngutip kalimat yang dia bilang
hadits, ternyata bukan. Nah, menyampaikan hadits nabi saja harus punya
ilmu hadits, apalagi ilmu syariah,” katanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar