Seorang tokoh Islam yang terkenal di Pakistan, Maulana Ali Ahmad Abbasi menulis di dalam bukunya “Hazrat Mu’aawiah Ki Siasi Zindagi”
bahwa di dalam sejarah Islam, ada dua orang yang sungguh kontroversial.
Seorang di antaranya adalah Amirul Mukminin Yazid yang makin lama makin
dimusnahkan image-nya walaupun semasa hayatnya beliau diterima
baik oleh tokoh-tokoh utama di zaman itu. Seorang lagi ialah Manshur Al
Hallaj. Di zamannya dia telah dihukum sebagai mulhid, zindiq, dan salah
seorang dari golongan Qaramithah oleh masyarakat Islam yang membawanya
disalib. Amirul Mukminin Al Muqtadir Billah telah menghukumnya murtad
berdasarkan fatwa seluruh ulama dan fuqaha’ yang hidup pada waktu itu,
tetapi image-nya semakin cerah tahun demi tahun sehingga akhirnya telah dianggap sebagai salah seorang ‘Aulia Illah’.
Bagaimanapun, semua ini adalah permainan khayalan dan fantasi manusia
yang jauh dari berpijak di bumi yang nyata. Semua ini adalah akibat
dari tidak menghargai dan memberikan penilaian yang sewajarnya kepada
pendapat orang-orang pada zaman mereka masing-masing.
Pendapat
tokoh-tokoh dari kalangan sabahat dan tabi’in yang sezaman dengan Yazid,
berdasarkan riwayat-riwayat yang muktabar dan sangat kuat kedudukannya,
menjelaskan kepada kita bahwa Yazid adalah seorang anak muda yang
bertaqwa, alim, budiman, shalih, dan pemimpin ummah yang sah dan
disepakati kepemimpinannya. Baladzuri umpamanya dalam “Ansabu Al Asyraf”
mengatakan bahwa, “Bila Yazid dilantik menjadi khalifah maka Abdullah
bin Abbas, seorang tokoh dari Ahlul Bait berkata: “Sesungguhnya anaknya
Yazid adalah dari keluarga yang shalih. Oleh karena itu, tetaplah kamu
berada di tempat-tempat duduk kamu dan berilah ketaatan dan bai’at kamu
kepadanya” (Ansabu Al Asyraf, jilid 4, halaman 4).
Sejarawan
Baladzuri adalah di antara ahli sejarah yang setia kepada para Khulafa
Al Abbasiyah. Beliau telah mengemukakan kata-kata Ibnu Abbas ini di
hadapan mereka dan menyebutkan pula sebelum nama Yazid sebutan ‘Amirul
Mukminin’.
Abdullah Ibnu Umar yang dianggap sebagai orang tua di
kalangan sahabat pada masa itu pun bersikap tegas terhadap orang-orang
yang menyokong pemberontakan yang dipimpin oleh Ibnu Zubair terhadap
kerajaan Yazid, dan sikap yang ini disebutkan di dalam Shahih Bukhari
bahwa, bila penduduk Madinah membatalkan bai’at mereka terhadap Yazid
bin Muawiyah maka Ibnu Umar mengumpulkan anak pinak dan sanak saudaranya
lalu berkata,
“Saya pernah mendengar
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Akan dipancangkan
bendera untuk setiap orang yang curang (membatalkan bai’atnya) pada hari
kiamat. Sesungguhnya kita telah berbai’at kepadanya dengan nama Allah
dan RasulNya. Sesungguhnya saya tidak mengetahui kecurangan yang lebih
besar dibandingkan kita berbai’at kepada seseorang dengan nama Allah dan
RasulNya, kemudian kita bangkit pula memeranginya. Kalau saya tahu ada
siapa saja dari kamu membatalkan bai’at kepadanya, dan turut serta di
dalam pemberontakan ini, maka terputuslah hubungan di antaraku
dengannya.” (Shahih Bukhari – Kitabu Al Fitan)
Sebenarnya
jika dikaji sejarah permulaan Islam, kita dapati pembunuhan Sayyidina
Husain di zaman pemerintahan Yazid-lah yang merupakan fakta terpenting
mendorong segala fitnah dan keaiban yang dikaitkan dengan Yazid tidak
mudah ditolak oleh generasi kemudian. Hakikat inilah yang mendorong
lebih banyak cerita-cerita palsu tentang Yazid yang diada-adakan oleh
musuh-musuh Islam. Tentu saja, orang yang membunuh menantu Rasulullah
Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam yang tersayang- dibelai oleh Rasulullah
dengan penuh kasih sayang semasa hayatnya kemudian dijunjung pula
dengan menyebutkan kelebihan dan keutamaan-keutamaannya di dalam
hadits-hadits Baginda- tidak akan dipandang sebagai seorang yang
berperi kemanusiaan apalagi untuk mengatakannya seorang shalih, budiman,
bertaqwa, dan pemimpin umat Islam.
Karena itulah cerita-cerita
seperti Yazid sering kali minum arak, seorang yang suka berfoya-foya,
suka mendengar musik, dan menghabiskan waktu dengan penari-penari,
begitu juga beliau adalah orang terlalu rendah jiwanya sehingga suka
bermain dengan monyet dan kera, terlalu mudah diterima oleh umat Islam
kemudian.
Tetapi soalnya, benarkah Yazid membunuh Sayyidina
Husain? Atau benarkah Yazid memerintahkan supaya Sayyidina Husain
dibunuh di Karbala?
Selagi tidak dapat ditentukan siapakah
pembunuh Sayyidina Husain yang sebenarnya dan terus diucapkan,
“Yazid-lah pembunuhnya,” tanpa soal selidik yang mendalam dan teliti,
maka selama itulah nama Yazid akan terus tercemar dan dia akan dipandang
sebagai manusia yang paling malang. Tetapi bagaimana jika yang membunuh
Sayyidina Husain itu bukan Yazid? Kemanakah pula akan kita bawa segala
tuduhan-tuduhan liar, fitnah, dan caci maki yang selama ini telah kita
sandarkan pada Yazid itu?
Jika kita seorang yang cintakan
keadilan, berlapang dada, sudah tentu kita akan berusaha untuk
membincangkan segala keburukan yang dihubungkan kepada Yazid selama ini
dan kita pindahkannya ke halaman rumah pembunuh- pembunuh Sayyidina
Husain yang sebenarnya. Apalagi jika kita seorang Ahlus Sunnah wal
Jamaah, sudah tentu dengan dengan adanya bukti-bukti yang kuat dan kukuh
dari sumber-sumber rujukan muktabar dan berdasarkan prinsip-prinsip
aqidah yang diterima di kalangan Ahlus Sunnah, kita akan terdorong untuk
membersihkan Yazid daripada segala tuduhan dan meletakkannya ditempat
yang istimewa dan selayak dengannya di dalam rentetan sejarah awal
Islam.
Sekarang marilah kita pergi ke tengah-tengah medan
penyelidikan tentang pembunuhan Sayyidina Husain di Karbala bersama-sama
dengan sekian banyak anggota keluarganya.
Pembunuh Sayyidina Husain Adalah Syiah Kufah
Terlebih
dahulu kita akan menyatakan dakwaan kita secara terus terang dan
terbuka bahwa pembunuh Sayyidina Husain yang sebenarnya bukanlah Yazid,
tetapi adalah golongan Syiah Kufah.
Dakwaan ini berdasarkan
beberapa fakta dan bukti-bukti daripada sumber-sumber rujukan sejarah
yang muktabar. Kita akan membahagi-bahagikan bukti-bukti yang akan
dikemukakan nanti kepada dua bagian :
- Bukti-bukti utama
- Bukti-bukti pendukung
Dengan
adanya bukti-bukti utama ini, tiada mahkamah pengadilan yang dibangun
untuk mencari kebenaran dan mendapatkan keadilan akan memutuskan Yazid
sebagai terdakwa dan sebagai penjahat yang bertanggungjawab di dalam
pembunuhan Sayyidina Husain. Bahkan Yazid akan dilepaskan dengan penuh
penghormatan dan akan terbongkarlah rahasia yang selama ini menutupi
pembunuh-pembunuh Sayyidina Husain yang sebenarnya di Karbala.
Bukti
pertamanya ialah pengakuan Syiah Kufah sendiri bahwa merekalah yang
membunuh Sayyidina Husain. Golongan Syiah Kufah yang mengaku telah
membunuh Sayyidina Husain itu kemudian muncul sebagai golongan “At Tawwaabun”
yang konon menyesali tindakan mereka membunuh Sayyidina Husain. Sebagai
cara bertaubat, mereka telah berbunuh-bunuhan sesama mereka seperti
yang pernah dilakukan oleh orang-orang Yahudi sebagai pernyataan
taubatnya kepada Allah karena kesalahan mereka menyembah anak lembu
sepeninggalan Nabi Musa ke Thur Sina.
Air mata darah yang dicurahkan oleh golongan “At Tawaabun”
itu masih kelihatan dengan jelas pada lembaran sejarah dan tetap tidak
hilang walaupun coba dihapuskan oleh mereka dengan beribu-ribu cara.
Pengakuan
Syiah pembunuh-pembunuh Sayyidina Husain ini diabadikan oleh
ulama-ulama Syiah yang merupakan tunggak dalam agama mereka seperti
Baqir Majlisi, Nurullah Syustri, dan lain-lain di dalam buku mereka
masing-masing. Baqir Majlisi menulis :
“Sekumpulan
orang-orang Kufah terkejut oleh satu suara ghaib. Maka berkatalah
mereka, “Demi Tuhan! Apa yang telah kita lakukan ini tak pernah
dilakukan oleh orang lain. Kita telah membunuh “Penghulu Pemuda Ahli
Surga” karena Ibnu Ziad anak haram itu. Di sini mereka mengadakan janji
setia di antara sesama mereka untuk memberontak terhadap Ibnu Ziad
tetapi tidak berguna apa-apa.” (Jilaau Al ‘Uyun, halaman 430)
Qadhi Nurullah Syustri pula menulis di dalam bukunya Majalisu Al Mu’minin
bahwa setelah sekian lama (lebih kurang 4 atau 5 tahun) Sayyidina
Husain terbunuh, ketua orang-orang Syiah mengumpulkan orang-orang Syiah
dan berkata,
“Kita telah memanggil
Sayyidina Husain dengan memberikan janji akan taat setia kepadanya,
kemudian kita berlaku curang dengan membunuhnya. Kesalahan kita sebesar
ini tidak akan diampuni kecuali kita berbunuh-bunuhan sesama kita.”
Dengan itu berkumpullah sekian banyak orang Syiah di tepi Sungai Furat
sambil mereka membaca ayat yang bermaksud, “Maka bertaubatlah kepada
Tuhan yang telah menjadikan kamu dan bunuhlah dirimu. Itu adalah lebih
baik bagimu pada sisi Tuhan yang menjadikan kamu.” (Al Baqarah: 54).
Kemudian mereka berbunuh-bunuhan sesama sendiri. Inilah golongan yang
dikenali dalam sejarah Islam dengan gelar “At Tawaabun.”
Sejarah
tidak lupa dan tidak akan melupakan peranan Syits bin Rab’i di dalam
pembunuhan Sayyidina Husain di Karbala. Tahukah Anda siapa itu Syits bin
Rab’i? Dia adalah seorang Syiah tulen, pernah menjadi duta pada
Sayyidina Ali di dalam peperangan Shiffin, senantiasa bersama Sayyidina
Husain. Dialah juga yang menjemput Sayyidina Husain ke Kufah untuk
mencetuskan pemberontakan terhadap pemerintahan pimpinan Yazid, tetapi
apakah yang telah dilakukan olehnya?
Sejarah memaparkan bahwa
dialah yang mengepalai 4.000 orang bala tentera untuk menentang
Sayyidina Husain dan dialah orang yang mula-mula turun dari kudanya
untuk memenggal kepala Sayyidina Husain. (Jilaau Al Uyun dan Khulashatu Al Mashaaib, halaman 37)
Adakah
masih ada orang yang ragu-ragu tentang Syiah-nya Syits bin Rab’i dan
tidakkah orang yang menceritakan perkara ini ialah Mullah Baqir Majlisi,
seorang tokoh Syiah terkenal? Secara tidak langsung ia bermakna
pengakuan dari pihak Syiah sendiri tentang pembunuhan itu.
Lihatlah
pula kepada Qais bin Asy’ats, ipar Sayyidina Husain, yang tidak diragui
tentang Syiahnya tetapi apa kata sejarah tentangnya? Bukankah sejarah
menjelaskan kepada kita bahwa itulah orang yang merampas selimut
Sayyidina Husain dari tubuhnya selepas selesai pertempuran? (Khulashatu Al Mashaaib, halaman 192)
Selain
dari pengakuan mereka sendiri yang membuktikan merekalah sebenarnya
pembunuh-pembunuh Sayyidina Husain, pernyataan saksi-saksi yang turut
serta di dalam rombongan Sayyidina Husain sebagai saksi-saksi hidup di
Karbala, yang terus hidup selepas peristiwa ini, juga membenarkan
dakwaan ini termasuk pernyataan Sayyidina Husain sendiri yang sempat
direkam oleh sejarah sebelum beliau terbunuh. Sayyidina Husain berkata
dengan menujukan kata-katanya kepada orang- orang Syiah Kufah yang siap
sedia bertempur dengan beliau:
“Wahai
orang-orang Kufah! Semoga kamu dilaknat sebagaimana dilaknat maksud-
maksud jahatmu. Wahai orang-orang yang curang, zalim, dan pengkhianat!
Kamu telah menjemput kami untuk membela kamu di waktu kesempitan tetapi
bila kami datang untuk memimpin dan membela kamu dengan menaruh
kepercayaan kepadamu maka sekarang kamu hunuskan pedang dendammu kepada
kami dan kamu membantu musuh-musuh di dalam menentang kami.” (Jilaau Al Uyun, halaman 391).
Beliau juga berkata kepada Syiah:
“Binasalah
kamu! Bagaimana boleh kamu menghunuskan perang dendammu dari
sarung-sarungnya tanpa sembarang permusuhan dan perselisihan yang ada di
antara kamu dengan kami? Kenapakah kamu siap sedia untuk membunuh Ahlul
Bait tanpa sembarang sebab?” (Ibid).
Akhirnya beliau mendoakan keburukan untuk golongan Syiah yang sedang berhadapan untuk bertempur dengan beliau:
“Ya
Allah! Tahanlah keberkatan bumi dari mereka dan selerakkanlah mereka.
Jadikanlah hati-hati pemerintah terus membenci mereka karena mereka
menjemput kami dengan maksud membela kami tetapi sekarang mereka
menghunuskan pedang dendam terhadap kami.” (Ibid)
Beliau juga dicatat telah mendoakan keburukan untuk mereka dengan kata-katanya:
“Binasalah
kamu! Tuhan akan membalas bagi pihakku di dunia dan di akhirat… Kamu
akan menghukum diri kamu sendiri dengan memukul pedang-pedang di atas
tubuhmu dan mukamu akan menumpahkan darah kamu sendiri. Kamu tidak akan
mendapat keberuntungan di dunia dan kamu tidak akan sampai kepada
hajatmu. Apabila mati nanti sudah tersedia adzab Tuhan untukmu di
akhirat. Kamu akan menerima azab yang akan diterima oleh orang-orang
kafir yang paling dahsyat kekufurannya.” (Mullah Baqir Majlisi – Jilaau Al Uyun, halaman 409).
Dari kata-kata Sayyidina Husain yang dipaparkan oleh sejarawan Syiah sendiri, Mullah Baqir Majlisi, dapat disimpulkan bahwa:
- Propaganda yang disebarkan oleh musuh-musuh Islam melalui penulisan sejarah bahwa pembunuhan Ahlul Bait di Karbala merupakan balas dendam dari Bani Umayyah terhadap Ahlul Bait yang telah membunuh pemimpin-pemimpin Bani Umayyah yang kafir di dalam peperangan Badar, Uhud, Shiffin, dan lain-lain tidak lebih daripada propaganda kosong semata-mata karena pembunuh-pembunuh Sayyidina Husain dan Ahlul Bait di Karbala bukannya datang dari Syam, bukan juga dari kalangan Bani Umayyah tetapi dari kalangan Syiah Kufah.
- Keadaan Syiah yang sentiasa diburu dan dihukum oleh kerajaan-kerajaan Islam di sepanjang sejarah membuktikan termakbulnya doa Sayyidina Husain di medan Karbala atas Syiah.
- Upacara menyiksa badan dengan memukul tubuhnya dengan rantai, pisau, dan pedang pada 10 Muharram dalam bentuk perkabungan yang dilakukan oleh golongan Syiah itu sehingga mengalir darah juga merupakan bukti diterimanya doa Sayyidina Husain dan upacara ini dengan jelas dapat dilihat hingga sekarang di dalam masyarakat Syiah. Adapun di kalangan Ahlus Sunnah tidak pernah terjadi upacara yang seperti ini dan dengan itu jelas menunjukkan bahwa merekalah golongan yang bertanggungjawab membunuh Sayyidina Husain.
- Betapa kejam dan kerasnya hati golongan ini dapat dilihat pada tindakan mereka menyembelih dan membunuh Sayyidina Husain bersama dengan sekian banyak anggota keluarganya, walaupun setelah mendengar ucapan dan doa keburukan untuk mereka yang dipinta oleh beliau. Itulah dia golongan yang buta mata hatinya dan telah hilang kewarasan pemikirannya karena sebaik saja mereka selesai membunuh, mereka melepaskan kuda Dzuljanah yang ditunggangi Sayyidina Husain sambil memukul-mukul tubuh untuk menyatakan penyesalan. Dan inilah dia upacara perkabungan pertama terhadap kematian Sayyidina Husain yang pernah dilakukan di atas muka bumi ini sejauh pengetahuan sejarah. Dan hari ini tidakkah anak cucu golongan ini meneruskan upacara berkabung ini setiap kali tibanya 10 Muharram?
Ali Zainal Abidin anak
Sayyidina Husain yang turut serta di dalam rombongan ke Kufah dan terus
hidup selepas terjadinya peristiwa itu juga berkata kepada orang-orang
Kufah lelaki dan perempuan yang merentap dengan mengoyak-ngoyakkan baju
mereka sambil menangis, dalam keadaan sakit beliau dengan suara yang
lemah berkata kepada mereka,
“Mereka ini menangisi kami. Tidakkah tidak ada orang lain yang membunuh kami selain mereka?” (At Thabarsi, Al Ihtijaj, halaman 156).
Pada halaman berikutnya Thabarsi menukilkan kata-kata Imam Ali Zainal Abidin kepada orang-orang Kufah. Kata beliau,
“Wahai
manusia (orang-orang Kufah)! Dengan nama Allah aku bersumpah untuk
bertanya kamu, ceritakanlah! Tidakkah kamu sadar bahwa kamu mengutuskan
surat kepada ayahku (menjemputnya datang), kemudian kamu menipunya?
Bukankah kamu telah memberikan perjanjian taat setia kamu kepadanya?
Kemudian kamu membunuhnya, membiarkannya dihina. Celakalah kamu karena
amalan buruk yang telah kamu dahulukan untuk dirimu.”
Sayyidatina
Zainab, saudara perempuan Sayyidina Husain yang terus hidup selepas
peristiwa itu juga mendoakan keburukan untuk golongan Syiah Kufah.
Katanya,
“Wahai orang-orang Kufah yang
khianat, penipu! Kenapa kamu menangisi kami sedangkan air mata kami
belum kering karena kezalimanmu itu. Keluhan kami belum terputus oleh
kekejamanmu. Keadaan kamu tidak ubah seperti perempuan yang memintal
benang kemudian dirombaknya kembali. Kamu juga telah merombak ikatan
iman dan telah berbalik kepada kekufuran… Adakah kamu meratapi kami,
padahal kamu sendirilah yang membunuh kami. Sekarang kamu pula menangisi
kami. Demi Allah! Kamu akan banyak menangis dan sedikit ketawa. Kamu
telah membeli keaiban dan kehinaan untuk kamu. Tumpukan kehinaan ini
sama sekali tidak akan hilang walau dibasuh dengan air apapun.” (Jilaau Al Uyun, halaman 424).
Doa anak Sayyidatina Fatimah ini tetap menjadi kenyataan dan berlaku di kalangan Syiah hingga hari ini.
Ummu
Kultsum anak Sayyidatina Fatimah berkata sambil menangis di atas
sekedupnya, “Wahai orang-oang Kufah! Buruklah hendaknya keadaanmu.
Buruklah hendaklah rupamu. Kenapa kamu menjemput saudaraku, Husain,
kemudian tidak membantunya, bahkan membunuhnya, merampas harta bendanya
dan menawan orang-orang perempuan dari Ahli Bait-nya. Laknat Allah ke
atas kamu dan semoga kutukan Allah mengenai mukamu.”
Beliau juga
berkata, ” Wahai orang-orang Kufah! Orang-orang lelaki dari kalangan
kamu membunuh kami sementara orang-orang perempuan pula menangisi kami.
Tuhan akan memutuskan di antara kami dan kamu di hari kiamat nanti.”
(Ibid, halaman 426-428)
Sementara Fatimah anak perempuan Sayyidina
Husain berkata, “Kamu telah membunuh kami dan merampas harta benda
kami, kemudian telah membunuh kakekku Ali (Sayyidina Ali). Senantiasa
darah-darah kami menetes dari ujung-ujung pedangmu…… Tak lama lagi kamu
akan menerima balasannya. Binasalah kamu! Tunggulah nanti azab dan
kutukan Allah akan terus menerus menghujani kamu. Siksaan dari langit
akan memusnahkan kamu akibat perbuatan terkutukmu. Kamu akan memukul
tubuhmu dengan pedang-pedang di dunia ini dan di akhirat nanti kamu akan
terkepung dengan azab yang pedih.”
Apa yang dikatakan oleh
Sayyidatina Fatimah binti Husain ini dapat dilihat dengan mata kepala
kita sendiri dimana pun Syiah berada.
Dua bukti utama yang telah
kita kemukakan tadi, sebenarnya sudah mencukupi untuk kita memutuskan
siapakah sebenarnya pembunuh Sayyidina Husain di Karbala. Dari
keterangan dalam keduaa bukti yang lalu dapat kita simpulkan beberapa
perkara :
- Orang-orang yang menjemput Sayyidina Husain ke Kufah untuk memberontak adalah Syiah.
- Orang-orang yang tampil untuk bertempur dengan rombongan Sayyidina Husain di Karbala itu juga Syiah.
- Sayyidina Husain dan orang-orang yang ikut serta di dalam rombongannya terdiri daripada saudara-saudara perempuannya dan anak-anaknya menyaksikan bahwa Syiah-lah yang telah membunuh mereka.
- Golongan Syiah Kufah sendiri mengakui merekalah yang membunuh di samping menyatakan penyesalan mereka dengan meratap dan berkabung karena kematian orang-orang yang dibunuh oleh mereka.
Mahkamah di dunia ini
menerima keempat perkara yang tersebut tadi sebagai bukti yang kukuh dan
jelas menunjukkan siapakah pembunuh sebenarnya di dalam suatu kasus
pembunuhan, yaitu bila pembunuh dan yang terbunuh berada di suatu
tempat, ada orang menyaksikan ketika mana pembunuhan itu dilakukan.
Orang yang terbunuh sendiri menyaksikan tentang pembunuhnya dan
puncaknya ialah pengakuan pembunuh itu sendiri. Jika keempat perkara ini
sudah terbukti dengan jelas dan diterima oleh semua pengadilan sebagai
kasus pembunuhan yang cukup bukti-buktinya, maka bagaimana mungkin
diragui lagi tentang pembunuh-pembunuh Sayyidina Husain itu?
II. Bukti-bukti Pendukung
Walau
bagaimanapun kita akan mengemukakan lagi beberapa bukti pendukung
supaya lebih menyakinkan kita tentang golongan Syiah itulah sebenarnya
pembunuh Sayyidina Husain. Di antaranya ialah:
Pertama
Tidak
sukar untuk kita terima bahwa mereka sebagai pembunuh Sayyidina Husain
apabila kita melihat sikap mereka yang biadab terhadap Sayyidina Ali dan
Sayyidina Hasan sebelum itu. Begitu juga sikap mereka yang biadap
terhadap orang-orang yang dianggap oleh mereka sebagai Imam selepas
Sayyidina Husain. Bahkan terdapat banyak pula bukti yang menunjukkan
merekalah yang bertanggungjawab terhadap pembunuhan beberapa orang Imam
walaupun mereka menuduh orang lain sebagai pembunuh Imam-imam itu dengan
menyebar luaskan propaganda-propaganda mereka terhadap tertuduh itu.
Di
antara kebiadaban mereka terhadap Sayyidina Ali ialah mereka menuduh
Sayyidina Ali berdusta dan mereka pernah mengancam untuk membunuh
Sayyidina Ali. Bahkan Ibnu Muljim yang kemudian membunuh Sayyidina Ali
itu juga mendapat latihan serta didikan untuk menentang Sayyidina Utsman
di Mesir dan berpura-pura mengasihi Sayyidina Ali. Dia pernah
berkhidmat sebagai pengawal Sayyidina Ali selama beberapa tahun di
Madinah dan Kufah.
Di dalam Jilaau Al Uyun disebutkan
bahwa Abdul Rahman ibnu Muljim adalah salah seorang dari kelompok yang
terhormat yang telah dikirimkan oleh Muhammad bin Abu Bakr dari Mesir.
Dia juga telah berbai’at dengan memegang tangan Sayyidina Ali dan dia
juga berkata kepada Sayyidina Hasan, ”Bahwa aku telah berjanji dengan
Tuhan untuk membunuh bapakmu dan sekarang aku menunaikannya. Sekarang
wahai Hasan, jika engkau mau membunuhku, bunuhlah. Tetapi kalau engkau
maafkan aku, aku akan pergi membunuh Muawiyah pula supaya engkau selamat
daripada kejahatannya.” (Jilaau Al Uyun, halaman 218)
Tetapi
setelah golongan Syiah pada ketika itu merasakan rencana mereka semua
akan gagal jika perjanjian damai di antara pihak Sayyidina Ali dan
Muawiyah disetujui, maka golongan Syiah yang merupakan musuh-musuh Islam
yang menyamar atas nama Islam itu memikirkan diri mereka tidak selamat
apabila perdamaian antara Sayyidina Ali dan Muawiyah terjadi. Maka
segolongan dari mereka telah mengasingkan diri dari mengikuti Sayyidina
Ali dan mereka menjadi golongan Khawarij sementara segolongan lagi tetap
berada bersama Sayyidina Ali. Perpecahan yang terjadi ini sebanarnya
satu taktik mereka untuk mempergunakan Sayyidina Ali demi kepentingan
mereka yang jahat itu dan untuk berlindung di balik beliau dari hukuman
karena pembunuhan Khalifah Utsman.
Sayyidina Hasan pun pernah
ditikam oleh golongan Syiah pahanya hingga tembus kemudian mereka
menunjukkan pula kebiadabannya terhadap Sayyidina Hasan dengan merampas
harta bendanya dan menarik kain sajadah yang diduduki oleh Sayyidina
Hasan. Ini semua tidak lain melainkan karena Sayyidina Hasan telah
bersedia untuk berdamai dengan pihak Sayyidina Muawiyah. Bahkan bukan
sekadar itu saja mereka telah menuduh Sayyidina Hasan sebagai orang yang
menghinakan orang-orang Islam dan sebagai orang yang menghitamkan muka
orang-orang Mukmin.
Kebiadaban Syiah dan kebusukan hatinya
ditujukan juga kepada Imam Ja’far Ash Shadiq bila seorang Syiah yang
sangat setia kepada Imam Ja’far Ash Shadiq, yaitu Rabi’, menangkap Imam
Ja’far Ash Shadiq dan membawanya kehadapan Khalifah Al Mansur supaya
dibunuh. Rabi’ telah memerintahkan anaknya yang paling keras hati supaya
menyeret Imam Ja’far Ash Shadiq dengan kudanya. Ini tersebut di dalam
kitab Jilaau Al Uyun karangan Mullah Baqir Majlisi.
Di
dalam kitab yang sama, pengarangnya juga menyebutkan kisah pembunuhan
Ali Ar Ridha yaitu Imam yang ke delapan menurut Syiah, bahwa beliau
telah dibunuh oleh Sabih Dailamy, seorang Syiah tulen atas perintah Al
Makmun. Diceritakan bahwa selepas dibunuh itu, Imam Ar Ridha dengan
mukjizatnya terus hidup kembali dan tidak ada langsung bekas-bekas
pedang di tubuhnya.
Bagaimanapun Syiah telah menyempurnakan
tugasnya untuk membunuh Imam Ar Ridha. Oleh karena itu, tidaklah heran
golongan yang sampai begini biadabnya terhadap Imam-imam bisa membunuh
Sayyidina Husain tanpa belas kasihan di medan Karbala.
Boleh jadi
kita akan mengatakan bagaimana mungkin pengikut-pengikut setia Imam-imam
ini yang dikenal dengan sebutan ‘Syiah’ bisa bertindak kejam pula
terhadap Imam-imamnya? Tidakkah mereka sanggup mempertahankan nyawa demi
mempertahankan Iman-imam mereka? Secara ringkas, bolehlah kita katakan
bahwa ‘perasaan keheranan’ yang seperti ini mungkin timbul dari dalam
fikiran Syiah, yang tidak mengetahui latar belakang terbentuknya Syiah
itu sendiri. Mereka hanya menerima secara membabi buta daripada
orang-orang terdahulu. Adapun orang-orang yang mengadakan sesuatu
fahaman dengan tujuan-tujuan yang tertentu dan masih hidup ketika mana
ajaran dan fahaman itu mula dikembangkan tentu sekali mereka sedar
maksud dan tujuan mereka mengadakan ajaran tersebut. Pada lahirnya
mereka menunjukkan taat setia dan kasih sayang kepada Imam-imam itu,
tetapi pada hakikatnya adalah sebaliknya.
Kedua
Di
antara bukti yang menunjukkan tidak adanya peranan Yazid dalam
pembunuhan Sayyidina Husain di Karbala, bahkan golongan Syiah-lah yang
bertanggungjawab membunuh beliau bersama dengan orang-orang yang ikut
serta di dalam rombongan itu, ialah adanya hubungan perbesanan di antara
Bani Hasyim dan Bani Umayyah, selepas terjadinya peperangan Shiffin dan
juga selepas terjadinya peristiwa pembunuhan Sayyidina Husain di
Karbala.
Tidak mungkin orang-orang yang memiliki kehormatan
seperti kalangan Ahlul Bait akan menikah dengan orang-orang yang
diketahui oleh mereka sebagai pembunuh-pembunuh atau orang-orang yang
bertanggungjawab di dalam membunuh ayah, kakek, atau paman mereka
Sayyidina Husain. Hubungan ini, selain menunjukkan pemerintah-pemerintah
dari kalangan Bani Muawiyah dan Yazid sebagai orang yang tidak bersalah
di dalam pembunuhan ini, juga menunjukkan mereka adalah golongan yang
banyak berbudi kepada Ahlul Bait dan senantiasa menjalinkan ikatan kasih
sayang di antara mereka dan Ahlul Bait.
Di antara contoh hubungan perbesanan ini ialah:
- Anak perempuan Sayyidina Ali sendiri bernama Ramlah telah menikah dengan anak Marwan bin Al Hakam yang bernama Muawiyah yaitu saudara Amirul Mukminin Abdul Malik bin Marwan. (Ibn Hazm, Jamharatu Al Ansab, halaman 80)
- Seorang lagi anak perempuan Sayyidina Ali menikah dengan Amirul Mukminin Abdul Malik sendiri yaitu khalifah yang ke empat dari kerajaan Bani Umayah. (Al Bidayah Wa An Nihayah, jilid 9 halaman 69)
- Seorang lagi anak perempuan Sayyidina Ali yaitu Khadijah menikah dengan anak gubernur ’Amir bin Kuraiz dari Bani Umayah bernama Abdul Rahman. (Jamharatu An Ansab, halaman 68). ‘Amir bin Kuraiz adalah gubernur pihak Muawiyah di Basrah dan dalam peperangan Jamal dia berada di pihak lawan Sayyidina Ali.
Cucu
Sayyidina Hasan bukan seorang dua orang saja yang telah menikah dengan
pemimpin-pemimpin kerajaan Bani Umayah, bahkan sejarah telah mencatat 6
orang dari cucu beliau telah menikah dengan mereka yaitu:
- Nafisah binti Zaid bin Hasan menikah dengan Amirul Mukminin Al Walid bin Abdul Malik bin Marwan.
- Zainab binti Hasan Al Mutsanna bin Hasan bin Ali juga telah menikah dengan Khalifah Al Walid bin Abdul Malik. Zainab ini adalah di antara orang yang turut serta di dalam rombongan Sayyidina Husain ke Kufah dan dia adalah salah seorang yang menyaksikan peristiwa pembunuhan Sayyidina Husain di Karbala dengan mata kepalanya sendiri.
- Ummu Qasim binti Hasan Al Mutsanna bin Hasan bin Ali menikah dengan cucu Sayyidina Utsman yaitu Marwan bin Aban. Ummu Qasim ini selepas kematian suaminya Marwan menikah pula dengan Ali Zainal Abidin bin Al Husain.
- Cucu perempuan Sayyidina Hasan yang keempat telah menikah dengan anak Marwan bin Al Hakam yaitu Muawiyah.
- Cucu Sayyidina Hasan yang kelima bernama Hammaadah binti Hasan Al Mutsanna menikah dengan anak saudara Amirul Mukminin Marwan bin Al Hakam yaitu Ismail bin Abdul Malik.
- Cucu Sayyidina Hasan yang keenam bernama Khadijah binti Husain bin Hasan bin Ali juga pernah menikah dengan Ismail bin Abdul Malik yang tersebut tadi sebelum sepupunya Hammaadah.
Dari
kalangan anak cucu Sayyidina Husain pula banyak yang telah menjalinkan
perkawinan dengan individu-individu dari keluarga Bani Umayah, antaranya
ialah:
- Anak perempuan Sayyidina Husain yang terkenal bernama Sakinah. Setelah beberapa lama terbunuh suaminya, Mush’ab bin Zubair, beliau telah menikah dengan cucu Amirul Mukminin Marwan yaitu Al Asbagh bin Abdul Aziz bin Marwan. Asbagh ini adalah saudara dari Amirul Mukminin Umar bin Abdul Aziz, sedangkan isteri Asbagh yang kedua ialah anak dari Amirul Mukminin Yazid yaitu Ummu Yazid. (Jamharatu Al Ansab)
- Sakinah anak Sayyidina Husain yang tersebut tadi pernah juga menikah dengan cucu Sayyidina Uthman yang bernama Zaid bin Amar bin Utsman.
Sementara
anak cucu kepada saudara-saudara Sayyidina Husain yaitu Abbas bin Ali
dan lain-lain juga telah mengadakan perhubungan perbesanan dengan
keluarga Umayah. Di antaranya yang bisa disebutkan ialah:
Cucu
perempuan dari saudara Sayyidina Husain yaitu Abbas bin Ali bernama
Nafisah binti Ubaidillah bin Abbas bin Ali menikah dengan cucu Amirul
Mukminin Yazid yang bernama Abdullah bin Khalid bin Yazid bin Muawiyah.
Kakek dari Nafisah ini yaitu Abbas bin Ali adalah di antara orang yang
ikut serta dalam rombongan Sayyidina Husain ke Kufah. Beliau terbunuh
dalam pertempuran di medan Karbala .
Sekiranya benar cerita yang
diambil oleh ahli -ahli sejarah dari Abu Mukhnaf, Hisyam dan lain–lain
tentang kezaliman Yazid di Karbala yang dikatakan telah memerintahkan
supaya tidak dibenarkan setitik pun air walaupun kepada anak–anak yang
ikut serta dalam rombongan Sayyidina Husain itu sehingga mereka mati
kehausan apakah mungkin perkawinan di antara cucu kepada Abbas ini
terjadi dengan cucu Yazid. Apakah kekejaman–kekejaman yang tidak ada
tolak bandingnya seperti yang digambarkan di dalam sejarah boleh
dilupakan begitu mudah oleh anak–anak cucu orang–orang yang teraniaya di
medan Karbala itu? Apa lagi jika dilihat kepada zaman terjadinya
perkawinan mereka ini, bukan lagi di zaman kekuasaan keluarga Yazid,
bahkan yang berkuasa pada ketika itu ialah keluarga Marwan. Di sana
tidak terdapat satu pun alasan untuk kita mengatakan perkawinan itu
terjadi secara kekerasan atau paksaan.
Perkawinan mereka
membuktikan kisah–kisah kezaliman yang dilakukan oleh tentara Yazid
kepada rombongan Sayyidina Husain itu cerita–cerita rekaan oleh Abu
Mukhnaf, Al Kalbi dan anaknya Hisyam, dan lain–lain.
Cucu
perempuan dari saudara Sayyidina Husain, Muhammad bin Ali (yang terkenal
dengan Muhammad bin Hanafiyah) bernama Lubabah menikah dengan Said bin
Abdullah bin Amr bin Said bin Al Ash bin Umayah. Ayah Lubabah ini ialah
Abu Hisyam Abdullah yang dipercayai sebagai imam oleh Syiah Kaisaniyah .
Demikianlah
ringkasnya dikemukakan hubungan perbesanan yang berlaku di antara Bani
Umaiyyah dan Bani Hasyim terutamanya dari anak cucu Sayyidina Ali, Hasan
dan Husain. Hubungan perbesanan di antara mereka sangat banyak terdapat
di dalam kitab-kitab Ansab dan sejarah. Pengetahuan lebih lanjut bisa
dirujuk dari kitab–kitab seperti Jamratu Al Ansab, Nasbu Quraisy, Al Bidayah wa An Nihayah, Umdatu Al Thalib Fi Ansab Aal Abi Thalib, dan lain–lain.
Oleh: Maulana Muhammad Asri Yusoff
Tidak ada komentar:
Posting Komentar